KH Ahmad Dahlan adalah salah satu tokoh pendiri organisasi Muhammadiyah yang ditetapkan oleh pemerintah sebagai pahlawan kemerdekaan nasional pada tanggal 27 Desember 1961 berdasarkan SK Presiden Republik Indonesia No.657 Tahun 1961.
Ahmad Dahlan memiliki nama keluarga Muhammad Darwisy. Pria kelahiran Kauman, Yogyakarta, 1 Agustus 1868 ini merupakan anak keempat dari tujuh bersaudara dengan ayah bernama KH Abu Bakar. Sang ibu bernama Siti Aminah adalah putri dari H Ibrahim yang saat itu menjabat sebagai Penghulu Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat.
Dilansir berbagai sumber, Rabu (24/11/2021) KH Ahmad Dahlan merupakan keturunan kedua belas Maulana Malik Ibrahim atau disebut Sunan Gresik yang merupakan wali besar dan penting di kalangan Wali Songo, dan dikenal sebagai penyebar agama Islam di pulau jawa.
KH Ahmad Dahlan tumbuh di lingkungan pesantren sejak kecil, lingkungan yang menjadi wadah baginya untuk menimba ilmu tentang agama dan bahasa Arab. Pada usia 15 tahun, Ahmad Dahlan menunaikan ibadah haji dan belajar agama dan bahasa Arab di Mekkah selama lima tahun.
Pada usia 20 tahun, KH Ahmad Dahlan kembali ke kampung halamannya dan setelah kembali dari Mekkah, KH Ahmad Dahlan diangkat menjadi Khatib Amin di Kesultanan Yogyakarta. Pada tahun 19021904, KH Ahmad Dahlan menunaikan ibadah haji kedua yang dilanjutkan dengan pendalaman ilmu agama beberapa guru di Mekah.
Sekembalinya dari Mekah, ia menikah dengan Siti Walidah, saudara sepupunya sendiri, putri Kyai Penghulu Haji Fadhil, yang kemudian menjadi Nyai Ahmad Dahlan, pahlawan nasional dan pendiri Aisyiyah. Dari pernikahannya dengan Siti Walidah, KH Ahmad Dahlan dikaruniai enam orang anak, yaitu Djohanah, Siradj Dahlan, Siti Busyro, Irfan Dahlan, Siti Aisyah, Siti Zaharah.
Selain itu, KH Ahmad Dahlan juga menikah dengan Nyai Abdullah, janda dari H. Abdullah. Ia juga menikah dengan saudara perempuan Kyai Munawwir Krapyak, Nyai Rum. KH Ahmad Dahlan juga dikaruniai seorang anak dari pernikahannya dengan ibu Nyai Aisyah (adik Ajengan Penghulu) Cianjur bernama Dandanah. Ia juga menikah dengan Nyai Yasin, Pakualaman Yogyakarta.
Pada tahun 1912, KH Ahmad Dahlan mendirikan organisasi Muhammadiyah untuk melaksanakan cita-cita pembaruan Islam di bumi Nusantara. KH Ahmad Dahlan ingin mengadakan suatu pembaruan dalam cara berpikir dan beramal menurut tuntutan agama Islam. Perkumpulan ini berdiri bertepatan pada tanggal 18 November 1912.
Gagasan pendirian Muhammadiyah oleh KH Ahmad Dahlan ini juga mendapatkan resistensi , baik dari keluarga maupun dari masyarakat sekitarnya. Berbagai fitnahan, tuduhan, hasutan datang bertubi-tubi kepadanya. Namun dia berteguh hati untuk melanjutkan cita-cita dan perjuangan pembaruan Islam di tanah air bisa mengatasi semua rintangan itu.
Pada tanggal 20 Desember 1912, dia mengajukan permohonan kepada pemerintah Hindia Belanda untuk mendapatkan badan hukum. Permohonan itu baru dikabulkan pada tahun 1914, dengan Surat Ketetapan Pemerintah No. 81 tanggal 22 Agustus 1914.
Namun, izin itu hanya berlaku untuk daerah Yogyakarta dan organisasi ini hanya boleh bergerak di daerah Yogyakarta. Dari Pemerintah Hindia Belanda timbul kekhawatiran akan perkembangan organisasi itu. Maka dari itu, kegiatannya dibatasi.
Walaupun Muhammadiyah dibatasi, tetapi daerah lain seperti Srandakan, Wonosari, Imogiri, dan lain-lain telah berdiri cabang Muhammadiyah. Hal ini jelas bertentangan dengan keinginan pemerintah Hindia Belanda.
KH Ahmad Dahlan menyiasatinya dengan menganjurkan agar cabang Muhammadiyah di luar Yogyakarta memakai nama lain. Misalnya Nurul Islam di Pekalongan, Al-Munir di Ujung Pandang, Ahmadiyah di Garut. Sedangkan di Solo berdiri perkumpulan Sidiq Amanah Tabligh Fathonah (SATF) yang mendapat pimpinan dari cabang Muhammadiyah.
Sebagai seorang yang demokratis dalam melaksanakan aktivitas gerakan dakwah Muhammadiyah, KH Ahmad Dahlan juga memfasilitasi para anggota Muhammadiyah untuk proses evaluasi kerja dan pemilihan pemimpin dalam Muhammadiyah.
Selama hidupnya dalam aktivitas gerakan dakwah Muhammadiyah, telah diselenggarakan dua belas kali pertemuan anggota (sekali dalam setahun), yang saat itu dipakai istilah Algemeene Vergadering (persidangan umum). Pada 23 Februari 1923 , pada usia 54 tahun KH Ahmad Dahlan wafat di Yogyakarta. Kemudian dia dimakamkan di kampong Karangkajen, Brontokusuman, Mergangsan, Yogyakarta.[source]
Pages:
|
Post a Comment
Note: Laborblog.my.id sangat menghargai pendapat anda. Bijaksana & etis lah dalam menyampaikan opini. Pendapat sepenuhnya tanggung jawab anda sesuai UU ITE.